Serambi
14-01-2009
Sejak anak saya meminta makan malam dengan menu nasi kucing yang telah saya ceritakan di kolom pertama itu, saya makin sering mengulang menu makan malam dengan cara yang sama dengan nasi kucing rasa yang sama: sambal ikan teri. Sudah nasinya nasi kucing, ikannya ikan teri pula. Dua nama yang sama-sma mewakili pihak yang kecil, murah, kalah dan pinggiran.
Tetapi sambil memelototi sekepal nasi dan sejumput teri itu, saya menatap betapa luar biasa peran si kecil dan si kalah itu bagi si besar dan si menang. Sulit membayangkan perang gerilya bisa kita peragakan jika cuma mengandalkan tentara yang serba cekak peralatan. Perang gerilya menjadi perang yang sulit dikalahkan karena ada rakyat di belakangnya. Dan rakyat yang menyembuyikan pejuang, menyokongnya dengan makanan apa saja itu, adalah pihak yang papa.
Kolom nasi kucing seri pertama ini pun ditanggapi oleh kalangan yang luas tetapi sejatinya mereka berasal dari kesempitan yang sama: sama-sama pernah dibesarkan oleh nasi murah ini ketika mereka masih miskin dan merintis jalan. Jadi, dalam diri nasi kucing, tersimpan kasih saying untuk si lemah, si miskin, si kekurangan dan kepada mereka yang tengah berjuang. Ini sungguh peran yang cuma bisa dijalankan oleh para spiritualis tingkat tinggi. Karena hanya kelas semacam itu yang sanggup menjadi relawan bagi penderita kusta yang bertugas nun jauh di pedalaman sana. Itulah ruhani yang menghuni para aktivis yang dengan gembira masuk keluar hutan bukan cuma untuk merawat lingkungan tetapi untuk memintarkan anak-anak terbelakang. Itulah ruhani para guru yang berjibaku mengajar anak-anak sekolah di pelosok desa, di lokasi-lokasi banjir dan kawasan bencana.
Walau ruhani seperti itu sebetulnya tidak mengenal ruang dan waktu. Ia boleh tinggal di mana saja, tak cuma di pedalaman dan pelosok-pelosok desa. Ia juga boleh berada di kota dan di pusat-pusat keremaian termasuk pada para petugas pitstop di sebuah balapan. Televisi hanya mengenal para pembalap, tetapi tidak pernah menggubris siapa pengisi bahan bakar, siapa pengangkat roda dan pemasang mur dan bautnya. Di tengah kesibukan balapan yang gemuruh dan gegap gempita, terselip peran-peran sepi yang begitu mendasarnya. Cukup sebagai pemutar sekrup saja itupun dengan tubuh berbalut jaket dan wajah tertutup helm. Publik dan media massa hanya butuh pekerjaannya tetapi tak perlu mengenal wajahnya.
Itulah peran para pemasang lampu dan penata setting di sebuah lokasi syuting. Mereka berpeluh sejak pagi hingga pagi lagi cuma untuk mempersiapkan kemunculan bintang utama yang berakting sekejap saja. Sekejap, dengan bayaran paling tinggi ditambah bonus paling terkenal pula. Dan peran para pekerja itu nanti cukup dicantumkan di dalam credit tittle di akhir cerita dengan kecepatan yang mata telah kesulitan menatapnya. Itulah kenapa, ketika para pekerja ini butuh menunjukkan prestasinya, tak ada jalan lain kecuali mengabarkannya ke kanan dan ke kiri bahwa: ‘’Lha itu sinar terang yang menerangi pipi bintang film itu adalah lampu hasil rakitanku!’’
Tapi pasti jarang sekali para pekerja di jalan sunyi yang menempuh keputusan seperti itu. Biasanya, mereka lebih suka menyimpan seluruhnya di dalam hati. Baik kesedihan, baik kegembiraan. Bahwa mereka sering sedih, itu pasti. Tetapi bahwa mereka juga sering bergembira itu juga pasti. Tetapi dalam sedih, mereka tak butuh pembelaan. Di dalam gembira mereka tak meminta tepuk tangan.
Perasaan seperti itulah yang muncul setiap saya makan nasi kucing. Inilah nasi yang menemani para mahasiswa miskin, para buruh pabrik, para penganggur dan anak-anak sekolah yang cekak uang saku. Inilah nasi yang menemani siapa saja yang sedang menempuh jalan sunyi. Itulah kenapa, meskipun murah harganya, sengsara bentuknya, tetapi sama sekali tak kehilangan kelezatan saat memakannya. Inilah mungkin nasi yang mendapat rasa hormat langsung dari jagat raya!
(Prie GS/cn05)
14-01-2009
Sejak anak saya meminta makan malam dengan menu nasi kucing yang telah saya ceritakan di kolom pertama itu, saya makin sering mengulang menu makan malam dengan cara yang sama dengan nasi kucing rasa yang sama: sambal ikan teri. Sudah nasinya nasi kucing, ikannya ikan teri pula. Dua nama yang sama-sma mewakili pihak yang kecil, murah, kalah dan pinggiran.
Tetapi sambil memelototi sekepal nasi dan sejumput teri itu, saya menatap betapa luar biasa peran si kecil dan si kalah itu bagi si besar dan si menang. Sulit membayangkan perang gerilya bisa kita peragakan jika cuma mengandalkan tentara yang serba cekak peralatan. Perang gerilya menjadi perang yang sulit dikalahkan karena ada rakyat di belakangnya. Dan rakyat yang menyembuyikan pejuang, menyokongnya dengan makanan apa saja itu, adalah pihak yang papa.
Kolom nasi kucing seri pertama ini pun ditanggapi oleh kalangan yang luas tetapi sejatinya mereka berasal dari kesempitan yang sama: sama-sama pernah dibesarkan oleh nasi murah ini ketika mereka masih miskin dan merintis jalan. Jadi, dalam diri nasi kucing, tersimpan kasih saying untuk si lemah, si miskin, si kekurangan dan kepada mereka yang tengah berjuang. Ini sungguh peran yang cuma bisa dijalankan oleh para spiritualis tingkat tinggi. Karena hanya kelas semacam itu yang sanggup menjadi relawan bagi penderita kusta yang bertugas nun jauh di pedalaman sana. Itulah ruhani yang menghuni para aktivis yang dengan gembira masuk keluar hutan bukan cuma untuk merawat lingkungan tetapi untuk memintarkan anak-anak terbelakang. Itulah ruhani para guru yang berjibaku mengajar anak-anak sekolah di pelosok desa, di lokasi-lokasi banjir dan kawasan bencana.
Walau ruhani seperti itu sebetulnya tidak mengenal ruang dan waktu. Ia boleh tinggal di mana saja, tak cuma di pedalaman dan pelosok-pelosok desa. Ia juga boleh berada di kota dan di pusat-pusat keremaian termasuk pada para petugas pitstop di sebuah balapan. Televisi hanya mengenal para pembalap, tetapi tidak pernah menggubris siapa pengisi bahan bakar, siapa pengangkat roda dan pemasang mur dan bautnya. Di tengah kesibukan balapan yang gemuruh dan gegap gempita, terselip peran-peran sepi yang begitu mendasarnya. Cukup sebagai pemutar sekrup saja itupun dengan tubuh berbalut jaket dan wajah tertutup helm. Publik dan media massa hanya butuh pekerjaannya tetapi tak perlu mengenal wajahnya.
Itulah peran para pemasang lampu dan penata setting di sebuah lokasi syuting. Mereka berpeluh sejak pagi hingga pagi lagi cuma untuk mempersiapkan kemunculan bintang utama yang berakting sekejap saja. Sekejap, dengan bayaran paling tinggi ditambah bonus paling terkenal pula. Dan peran para pekerja itu nanti cukup dicantumkan di dalam credit tittle di akhir cerita dengan kecepatan yang mata telah kesulitan menatapnya. Itulah kenapa, ketika para pekerja ini butuh menunjukkan prestasinya, tak ada jalan lain kecuali mengabarkannya ke kanan dan ke kiri bahwa: ‘’Lha itu sinar terang yang menerangi pipi bintang film itu adalah lampu hasil rakitanku!’’
Tapi pasti jarang sekali para pekerja di jalan sunyi yang menempuh keputusan seperti itu. Biasanya, mereka lebih suka menyimpan seluruhnya di dalam hati. Baik kesedihan, baik kegembiraan. Bahwa mereka sering sedih, itu pasti. Tetapi bahwa mereka juga sering bergembira itu juga pasti. Tetapi dalam sedih, mereka tak butuh pembelaan. Di dalam gembira mereka tak meminta tepuk tangan.
Perasaan seperti itulah yang muncul setiap saya makan nasi kucing. Inilah nasi yang menemani para mahasiswa miskin, para buruh pabrik, para penganggur dan anak-anak sekolah yang cekak uang saku. Inilah nasi yang menemani siapa saja yang sedang menempuh jalan sunyi. Itulah kenapa, meskipun murah harganya, sengsara bentuknya, tetapi sama sekali tak kehilangan kelezatan saat memakannya. Inilah mungkin nasi yang mendapat rasa hormat langsung dari jagat raya!
(Prie GS/cn05)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar