Suara Merdeka online
Serambi
05-01-2009
DUA anak saya punya kebiasaan menujuk sebuah rumah makan di kota kami sebagai ''menu hadiah'' jika mereka merasa sedang berprestasi. Artinya, kami mendatangi rumah makan ini cuma di hari-hari yang kami anggap istimewa. Alasan utamanya pasti karena menu di rumah makan ini mahal sekali untuk ukuran kantong kami. Tetapi keenakan masakannya, membuat kami sekali waktu melupakan harga.
Tetapi intinya, jika dituruti selera lidah anak-anak itu makin mahal saja dari hari ke hari. Kami yang semula cemas pada gejala ini, bukannya menghentikan kebiasaan anak, melainkan malah terhasut oleh kebiasaan mereka. Ngeri rasanya menghabiskan begitu banyak uang yang kami cari dengan susah payah hanya untuk makan makanan yang celakanya tidak dianjurkan oleh pakar gizi. Tapi apa boleh buat, ketika sambil melarang kami juga mencicipi makanan anak ini, hahaha… rasanya memang enak sekali. Ya sudah, orang tua dan anak, akhirnya memilih untuk melupakan soal harga dan pakar gizi. Jika sudah begini, saya memang terpengaruh nasihat seorang teman: ''Jangan berpikir soal penyakit di meja makan!'' katanya.
Dan benar, teman saya ini memakan apa saja dari seluruh makanan yang dia gemari. Ketika suatu kali ia terpaksa tumbang dan harus operasi besar-besaran, ia memilih rumah sakit terbaik, dokter terbaik, dan semuanya di luar negeri. Sebuah operasi yang amat canggih dengan bayaran yang juga sangat canggih. ''Jika saya orang miskin pasti lebih memilih mati!'' katanya sambil tergelak. Sepulang operasi, ia meneruskan hobi makan enaknya itu kembali.
Jadi nasihatnya itu, pasti lebih cocok untuk ia dirinya sendiri. Bukan untuk kami yang harus mencari uang dengan hati-hati, mengumpulkan segobang demi segobang, dan setelah terkumpul sudah harus keterjang inflasi. Maka betapapun anak-anak itu sekali waktu suka menarik kami untuk makan enak, dengan cepat kami menarik diri kembali dan sikap boros mereka ketat kami waspadai. Walau usaha ini kami yakini tidak terlalu mujarab untuk mengekang lidah anak yang kecenderungannya makin berbiaya tinggi.
Walau… kecemasan ini rasanya terlalu berlebihan mengingat kejadian berikut ini: suatu malam, ketika istri malas memasak dan kami kebingungan, anak-anak kami mengusulkan makan malam yang ganjil: membeli nasi kucing. Semula saya menyangka, ini nasi yang dibeli benar-benar untuk kucing karena kebetulan anak-anak baru saja memungut anak kucing terlantar sebagai bagian anggota keluarga kami. Tapi ketika yang dibeli ini benar-benar nasi bungkus murah yang saking murahnya cukup disetarakan dengan makanan kucing, kami kaget sendiri. Bukan kaget karena kami tidak mengenal jenis nasi ini, melainkan kaget karena anak-anak ini tidak cuma mengenal, tetapi juga menggemari.
Padahal aduh, nasi ini benar-benar sepadan dengan namanya. Ia memang cocok sekali untuk kucing kami. Cuma sekepal nasinya dan lauknya pun kikir sekali. Bermacam-macam pilihan, tetapi ke manapun Anda memilih akan ketemu kekikiran yang sama: sekerat ikat asin, sesuir dadar, setabur kering tempe. Saya sendiri memilih nasi dengan menu sejumput sambal teri. Tetapi jika ada makan malam yang kami kenang kerena kepuasan kami, edisi nasi kucing inilah salah satunya.
Sambil kepedasan saya memandang dengan tertegun nasi murah yang berhasill memikat lidah anak-anak yang kami sangka telah menjadi mahal itu. Cuma seribu perak harganya! Dengan lauk yang menghina pula. Lalu di mana letak pesonanya. Adakah karena kami begitu lapar dan karena harga nasi ini begitu murah? Bisa saja. Tapi saya menyangka, ada sesuatu yang lebih mendasar dari sekadar soal murah dan soal harga. Tinjauan lengkap atas nasi kucing ini akan saya tulis di kolom berikutnya!
(Prie GS/cn05)
Serambi
05-01-2009
DUA anak saya punya kebiasaan menujuk sebuah rumah makan di kota kami sebagai ''menu hadiah'' jika mereka merasa sedang berprestasi. Artinya, kami mendatangi rumah makan ini cuma di hari-hari yang kami anggap istimewa. Alasan utamanya pasti karena menu di rumah makan ini mahal sekali untuk ukuran kantong kami. Tetapi keenakan masakannya, membuat kami sekali waktu melupakan harga.
Tetapi intinya, jika dituruti selera lidah anak-anak itu makin mahal saja dari hari ke hari. Kami yang semula cemas pada gejala ini, bukannya menghentikan kebiasaan anak, melainkan malah terhasut oleh kebiasaan mereka. Ngeri rasanya menghabiskan begitu banyak uang yang kami cari dengan susah payah hanya untuk makan makanan yang celakanya tidak dianjurkan oleh pakar gizi. Tapi apa boleh buat, ketika sambil melarang kami juga mencicipi makanan anak ini, hahaha… rasanya memang enak sekali. Ya sudah, orang tua dan anak, akhirnya memilih untuk melupakan soal harga dan pakar gizi. Jika sudah begini, saya memang terpengaruh nasihat seorang teman: ''Jangan berpikir soal penyakit di meja makan!'' katanya.
Dan benar, teman saya ini memakan apa saja dari seluruh makanan yang dia gemari. Ketika suatu kali ia terpaksa tumbang dan harus operasi besar-besaran, ia memilih rumah sakit terbaik, dokter terbaik, dan semuanya di luar negeri. Sebuah operasi yang amat canggih dengan bayaran yang juga sangat canggih. ''Jika saya orang miskin pasti lebih memilih mati!'' katanya sambil tergelak. Sepulang operasi, ia meneruskan hobi makan enaknya itu kembali.
Jadi nasihatnya itu, pasti lebih cocok untuk ia dirinya sendiri. Bukan untuk kami yang harus mencari uang dengan hati-hati, mengumpulkan segobang demi segobang, dan setelah terkumpul sudah harus keterjang inflasi. Maka betapapun anak-anak itu sekali waktu suka menarik kami untuk makan enak, dengan cepat kami menarik diri kembali dan sikap boros mereka ketat kami waspadai. Walau usaha ini kami yakini tidak terlalu mujarab untuk mengekang lidah anak yang kecenderungannya makin berbiaya tinggi.
Walau… kecemasan ini rasanya terlalu berlebihan mengingat kejadian berikut ini: suatu malam, ketika istri malas memasak dan kami kebingungan, anak-anak kami mengusulkan makan malam yang ganjil: membeli nasi kucing. Semula saya menyangka, ini nasi yang dibeli benar-benar untuk kucing karena kebetulan anak-anak baru saja memungut anak kucing terlantar sebagai bagian anggota keluarga kami. Tapi ketika yang dibeli ini benar-benar nasi bungkus murah yang saking murahnya cukup disetarakan dengan makanan kucing, kami kaget sendiri. Bukan kaget karena kami tidak mengenal jenis nasi ini, melainkan kaget karena anak-anak ini tidak cuma mengenal, tetapi juga menggemari.
Padahal aduh, nasi ini benar-benar sepadan dengan namanya. Ia memang cocok sekali untuk kucing kami. Cuma sekepal nasinya dan lauknya pun kikir sekali. Bermacam-macam pilihan, tetapi ke manapun Anda memilih akan ketemu kekikiran yang sama: sekerat ikat asin, sesuir dadar, setabur kering tempe. Saya sendiri memilih nasi dengan menu sejumput sambal teri. Tetapi jika ada makan malam yang kami kenang kerena kepuasan kami, edisi nasi kucing inilah salah satunya.
Sambil kepedasan saya memandang dengan tertegun nasi murah yang berhasill memikat lidah anak-anak yang kami sangka telah menjadi mahal itu. Cuma seribu perak harganya! Dengan lauk yang menghina pula. Lalu di mana letak pesonanya. Adakah karena kami begitu lapar dan karena harga nasi ini begitu murah? Bisa saja. Tapi saya menyangka, ada sesuatu yang lebih mendasar dari sekadar soal murah dan soal harga. Tinjauan lengkap atas nasi kucing ini akan saya tulis di kolom berikutnya!
(Prie GS/cn05)
1 komentar:
ceritanya menarik sekali..hahahaahahah.saya jg penggemar nasi kucing.
Posting Komentar