BUKA SETIAP MALAM KECUALI SENIN


Menerima Pesanan untuk Pesta

Hubungi Mas Hendi 0813 890 388 08

Jika ingin menikmati malam di warung angkringan seperti di Yogyakarta atau Solo, kini Anda tak perlu jauh-jauh ke luar kota. Di Veteran, Bintaro, Jakarta Selatan, tepatnya di depan Rumah Sakit Veteran ada warung angkringan lengkap dengan menu khas, nasi kucing. Bagi Anda yang berasal dari Jawa Tengah atau Yogyakarta, tentu tidak asing dengan angkringan atau hek seperti ini. Di sana warung seperti ini memang menjamur.

Angkringan dalam bahasa Jawa berarti nongkrong. Di warung angkringan biasanya makanan tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah menyeruput minuman panas untuk melawan dinginnya angin malam. Karena itu, warung ini hanya buka malam hingga dini hari.

Suhendi, pria asal Solo, pendiri angkringan Veteran ini mengaku, warung khusus didirikan memang untuk mengobati kerinduan warga Yogyakarta dan Jawa Tengah di ibukota akan kampung halaman. Karena itu, suasana di angkringan ini dibuat semirip mungkin dengan yang ada di daerah asalnya.

Tak heran semua perlengkapan seperti tiga teko dan kompor arang sengaja didatangkan dari Yogyakarta. Suasananya pun dibuat remang-remang, hanya diterangi lampu minyak. Selain itu, penjaga warung juga akan menyapa Anda dengan bahasa Jawa layaknya di Solo.

Selain suasana, menu yang disajikan hampir semuanya adalah menu khas angkringan, nasi kucing. Nasi kucing adalah nasi seukuran porsi kucing, yakni sekepalan tangan ditambah sambal terasi dan bandeng. Lauknya ada berbagai sate, seperti sate telur puyuh, kepala ayam, usus dan kikil. Yang khusus disediakan untuk warga Jakarta yang doyan jengkol adalah J-CO Bakar. Yaitu semur jengkol yang ditusuk dan dibakar ala sate.

Sate-sate ini bisa langsung dimakan dengan nasi kucing. Sebab, sate-sate ini sudah dimasak dengan bumbu bacem dan digoreng. Namun, bila ingin menyantapnya dalam keadaan panas, Anda bisa meminta penjaga warung membakarnya terlebih dahulu. Sebelum dibakar, sate kembali dioles dengan bumbu bacem dan kecap.

Selain sate, ada berbagai lauk dan cemilan seperti tempe bacem, tahu bacem, pisang goreng, pisang owol uli bakar dan tape bakar. Semuanya bisa disantap dalam keadaan hangat diiringi dengan wedang jahe atau jahe susu yang membuat suasana malam semakin hangat.

Selasa, Februari 03, 2009

Suara Merdeka: Nasi Kucing (2)

Serambi
14-01-2009

Sejak anak saya meminta makan malam dengan menu nasi kucing yang telah saya ceritakan di kolom pertama itu, saya makin sering mengulang menu makan malam dengan cara yang sama dengan nasi kucing rasa yang sama: sambal ikan teri. Sudah nasinya nasi kucing, ikannya ikan teri pula. Dua nama yang sama-sma mewakili pihak yang kecil, murah, kalah dan pinggiran.

Tetapi sambil memelototi sekepal nasi dan sejumput teri itu, saya menatap betapa luar biasa peran si kecil dan si kalah itu bagi si besar dan si menang. Sulit membayangkan perang gerilya bisa kita peragakan jika cuma mengandalkan tentara yang serba cekak peralatan. Perang gerilya menjadi perang yang sulit dikalahkan karena ada rakyat di belakangnya. Dan rakyat yang menyembuyikan pejuang, menyokongnya dengan makanan apa saja itu, adalah pihak yang papa.

Kolom nasi kucing seri pertama ini pun ditanggapi oleh kalangan yang luas tetapi sejatinya mereka berasal dari kesempitan yang sama: sama-sama pernah dibesarkan oleh nasi murah ini ketika mereka masih miskin dan merintis jalan. Jadi, dalam diri nasi kucing, tersimpan kasih saying untuk si lemah, si miskin, si kekurangan dan kepada mereka yang tengah berjuang. Ini sungguh peran yang cuma bisa dijalankan oleh para spiritualis tingkat tinggi. Karena hanya kelas semacam itu yang sanggup menjadi relawan bagi penderita kusta yang bertugas nun jauh di pedalaman sana. Itulah ruhani yang menghuni para aktivis yang dengan gembira masuk keluar hutan bukan cuma untuk merawat lingkungan tetapi untuk memintarkan anak-anak terbelakang. Itulah ruhani para guru yang berjibaku mengajar anak-anak sekolah di pelosok desa, di lokasi-lokasi banjir dan kawasan bencana.

Walau ruhani seperti itu sebetulnya tidak mengenal ruang dan waktu. Ia boleh tinggal di mana saja, tak cuma di pedalaman dan pelosok-pelosok desa. Ia juga boleh berada di kota dan di pusat-pusat keremaian termasuk pada para petugas pitstop di sebuah balapan. Televisi hanya mengenal para pembalap, tetapi tidak pernah menggubris siapa pengisi bahan bakar, siapa pengangkat roda dan pemasang mur dan bautnya. Di tengah kesibukan balapan yang gemuruh dan gegap gempita, terselip peran-peran sepi yang begitu mendasarnya. Cukup sebagai pemutar sekrup saja itupun dengan tubuh berbalut jaket dan wajah tertutup helm. Publik dan media massa hanya butuh pekerjaannya tetapi tak perlu mengenal wajahnya.

Itulah peran para pemasang lampu dan penata setting di sebuah lokasi syuting. Mereka berpeluh sejak pagi hingga pagi lagi cuma untuk mempersiapkan kemunculan bintang utama yang berakting sekejap saja. Sekejap, dengan bayaran paling tinggi ditambah bonus paling terkenal pula. Dan peran para pekerja itu nanti cukup dicantumkan di dalam credit tittle di akhir cerita dengan kecepatan yang mata telah kesulitan menatapnya. Itulah kenapa, ketika para pekerja ini butuh menunjukkan prestasinya, tak ada jalan lain kecuali mengabarkannya ke kanan dan ke kiri bahwa: ‘’Lha itu sinar terang yang menerangi pipi bintang film itu adalah lampu hasil rakitanku!’’

Tapi pasti jarang sekali para pekerja di jalan sunyi yang menempuh keputusan seperti itu. Biasanya, mereka lebih suka menyimpan seluruhnya di dalam hati. Baik kesedihan, baik kegembiraan. Bahwa mereka sering sedih, itu pasti. Tetapi bahwa mereka juga sering bergembira itu juga pasti. Tetapi dalam sedih, mereka tak butuh pembelaan. Di dalam gembira mereka tak meminta tepuk tangan.

Perasaan seperti itulah yang muncul setiap saya makan nasi kucing. Inilah nasi yang menemani para mahasiswa miskin, para buruh pabrik, para penganggur dan anak-anak sekolah yang cekak uang saku. Inilah nasi yang menemani siapa saja yang sedang menempuh jalan sunyi. Itulah kenapa, meskipun murah harganya, sengsara bentuknya, tetapi sama sekali tak kehilangan kelezatan saat memakannya. Inilah mungkin nasi yang mendapat rasa hormat langsung dari jagat raya!
(Prie GS/cn05)

Suara Merdeka: Nasi Kucing (1)

Suara Merdeka online
Serambi
05-01-2009

DUA anak saya punya kebiasaan menujuk sebuah rumah makan di kota kami sebagai ''menu hadiah'' jika mereka merasa sedang berprestasi. Artinya, kami mendatangi rumah makan ini cuma di hari-hari yang kami anggap istimewa. Alasan utamanya pasti karena menu di rumah makan ini mahal sekali untuk ukuran kantong kami. Tetapi keenakan masakannya, membuat kami sekali waktu melupakan harga.

Tetapi intinya, jika dituruti selera lidah anak-anak itu makin mahal saja dari hari ke hari. Kami yang semula cemas pada gejala ini, bukannya menghentikan kebiasaan anak, melainkan malah terhasut oleh kebiasaan mereka. Ngeri rasanya menghabiskan begitu banyak uang yang kami cari dengan susah payah hanya untuk makan makanan yang celakanya tidak dianjurkan oleh pakar gizi. Tapi apa boleh buat, ketika sambil melarang kami juga mencicipi makanan anak ini, hahaha… rasanya memang enak sekali. Ya sudah, orang tua dan anak, akhirnya memilih untuk melupakan soal harga dan pakar gizi. Jika sudah begini, saya memang terpengaruh nasihat seorang teman: ''Jangan berpikir soal penyakit di meja makan!'' katanya.

Dan benar, teman saya ini memakan apa saja dari seluruh makanan yang dia gemari. Ketika suatu kali ia terpaksa tumbang dan harus operasi besar-besaran, ia memilih rumah sakit terbaik, dokter terbaik, dan semuanya di luar negeri. Sebuah operasi yang amat canggih dengan bayaran yang juga sangat canggih. ''Jika saya orang miskin pasti lebih memilih mati!'' katanya sambil tergelak. Sepulang operasi, ia meneruskan hobi makan enaknya itu kembali.
Jadi nasihatnya itu, pasti lebih cocok untuk ia dirinya sendiri. Bukan untuk kami yang harus mencari uang dengan hati-hati, mengumpulkan segobang demi segobang, dan setelah terkumpul sudah harus keterjang inflasi. Maka betapapun anak-anak itu sekali waktu suka menarik kami untuk makan enak, dengan cepat kami menarik diri kembali dan sikap boros mereka ketat kami waspadai. Walau usaha ini kami yakini tidak terlalu mujarab untuk mengekang lidah anak yang kecenderungannya makin berbiaya tinggi.

Walau… kecemasan ini rasanya terlalu berlebihan mengingat kejadian berikut ini: suatu malam, ketika istri malas memasak dan kami kebingungan, anak-anak kami mengusulkan makan malam yang ganjil: membeli nasi kucing. Semula saya menyangka, ini nasi yang dibeli benar-benar untuk kucing karena kebetulan anak-anak baru saja memungut anak kucing terlantar sebagai bagian anggota keluarga kami. Tapi ketika yang dibeli ini benar-benar nasi bungkus murah yang saking murahnya cukup disetarakan dengan makanan kucing, kami kaget sendiri. Bukan kaget karena kami tidak mengenal jenis nasi ini, melainkan kaget karena anak-anak ini tidak cuma mengenal, tetapi juga menggemari.

Padahal aduh, nasi ini benar-benar sepadan dengan namanya. Ia memang cocok sekali untuk kucing kami. Cuma sekepal nasinya dan lauknya pun kikir sekali. Bermacam-macam pilihan, tetapi ke manapun Anda memilih akan ketemu kekikiran yang sama: sekerat ikat asin, sesuir dadar, setabur kering tempe. Saya sendiri memilih nasi dengan menu sejumput sambal teri. Tetapi jika ada makan malam yang kami kenang kerena kepuasan kami, edisi nasi kucing inilah salah satunya.

Sambil kepedasan saya memandang dengan tertegun nasi murah yang berhasill memikat lidah anak-anak yang kami sangka telah menjadi mahal itu. Cuma seribu perak harganya! Dengan lauk yang menghina pula. Lalu di mana letak pesonanya. Adakah karena kami begitu lapar dan karena harga nasi ini begitu murah? Bisa saja. Tapi saya menyangka, ada sesuatu yang lebih mendasar dari sekadar soal murah dan soal harga. Tinjauan lengkap atas nasi kucing ini akan saya tulis di kolom berikutnya!
(Prie GS/cn05)